Minggu, 28 Agustus 2011

Latifatul Masrurah : Aku Tak Mau Menjadi Buruh Pencari Pasir


            Namaku Latifatul Masrurah. Aku dilahirkan di sebuah kampung nan jauh dari keramaian, di kabupaten Temanggung, tanggal 25 Desember 1992. Ayahku bernama As’ari, dan ibuku bernama Siti Nur Afiyah. Kami tinggal di sebuah kampung kecil bernama Kerokan, desa Kutoanyar, kecamatan Kedu, kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Di kampungku ini, listrik belum lama bisa kami nikmati.


            Aku tidak sedih menjadi anak kampung yang jauh dari peradaban kota. Namun hal yang amat membuat aku sedih adalah, saat ini aku tak bisa mengingat wajah ayahku lagi. Aku hanya merasakan kasih sayang ayahku selama empat tahun. Ayah meninggal tahun 1996 karena sakit, saat aku baru berusia empat tahun. Belum cukup aku bermanja-manja dengan ayah, layaknya anak-anak kecil pada umumnya, ternyata Allah mentakdirkan aku harus berpisah dengan ayah. Aku harus menjalani kehidupan sebagai anak yatim.
            Karena usiaku baru empat tahun saat ditinggal ayah, membuatku tidak mengenal ayah dengan baik. Sedih sekali, aku tak berhasil mengingat masa-masa bersama ayah. Apalagi dalam kehidupan kampung yang sangat sederhana, bahkan poto kenangan bersama ayah akupun tak punya. Ibu sering menangis jika aku tanyakan seperti apakah ayahku.
            Semenjak kematian ayah, aku hidup bersama ibu dan seorang kakak perempuan. Ibuku sangat miskin. Tidak memiliki sawah untuk dikerjakan sendiri, layaknya orang-orang desa lainnya. Ibuku hanya buruh pencari pasir di sungai, yang penghasilannya sangat kecil padahal pekerjaannya sangat berat dan melelahkan, apalagi untuk seorang perempuan. Kondisi ini tentu saja membuat kehidupan keluarga kami sangat kekurangan. Untuk makan sehari-hari saja sering tidak cukup, apalagi berpikir biaya sekolah.
Beruntung SD di kampungku bersedia memberikan keringanan biaya, sehingga aku sempat mengenyam pendidikan dasar hingga selesai. Alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah, bahwa orang miskin sepertiku sempat mengenyam pendidikan. Namun setelah tamat SD, ibuku menyarankan agar aku berhenti sekolah dan membantu ibu mencari uang. Aku sedih sekali. Aku ingin bisa meneruskan sekolah seperti teman-temanku yang lain. Aku tak mau kalah dengan mereka. Aku ingin memiliki masa depan yang baik, tidak seperti ibu yang hanya bisa bekerja mencari pasir di sungai.
Sungguh aku sangat bersyukur, ternyata Madrasah Tsanawiyah Negeri 3 Kutoanyar yang terletak tidak jauh dari rumahku bersedia menampungku dengan memberikan keringanan biaya. Akhirnya akupun masuk sekolah MTsN 3, dan berhasil lulus dengan lancar. Selama tiga tahun belajar di MTsN, ibuku sering kesulitan membayar uang pendidikan, walaupun sudah mendapat keringanan. Aku tidak pernah memiliki buku-buku pelajaran yang aku perlukan, karena ibuku tidak memiliki uang untuk membelinya.
Terus terang aku sangat iri dengan teman-teman yang memiliki buku-buku pelajaran secara lengkap. Sesekali waktu, aku pinjam kepada mereka untuk aku pelajari. Bersyukur bahwa aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik, walaupun aku merasa kesulitan mengikuti pelajaran bahasa Inggris. Aku sangat senang pelajaran IPS, dan nilaiku selalu bagus.
Baru sebentar kebahagiaanku bisa lulus MTsN, kembali aku bersedih karena ibu menyatakan tidak mungkin membiayai sekolahku lagi, walaupun seandainya nanti mendapat keringanan dari sekolah seperti sebelumnya. Ibu dan kakakku sudah pasrah dengan kenyataan yang ada, bahwa penghasilan ibu tak akan cukup untuk makan kami bertiga, apalagi jika harus ditambah biaya sekolahku nanti. Ibu kembali memintaku untuk membantu mencari uang.
Aku berusaha menerima kenyataan ini, bahwa sekolahku hanya sampai Madrasah Tsanawiyah, tidak bisa meneruskan ke SMA atau Madrasah Aliyah. Padahal aku sangat ingin bisa sekolah, dan nanti bahkan bisa kuliah. Setiap kali aku membayangkan bahwa aku harus berhenti sekolah, aku tak kuasa menahan air mata. Terbayang olehku, aku akan segera menjadi gadis desa yang putus sekolah, sehingga terpaksa bekerja sebagai buruh di sawah orang, atau ikut ibu sebagai buruh mencari pasir di sungai. Atau seperti sebagian gadis muda di desaku yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah orang kaya.
Rasanya di usiaku yang baru 15 tahun, belum siap aku bekerja menjadi buruh. Apalagi mencari pasir, yang setiap hari harus berendam berlama-lama di sungai, seperti yang dilakukan ibu. Di tengah terik sinar matahari yang sangat menyengat, ibu berendam di sungai untuk mendapatkan pasir. Apakah aku harus menjadi seperti itu ? Ya Allah, berilah aku jalan keluar agar aku bisa meneruskan sekolah. Doa, hanya itulah yang bisa aku lakukan, karena aku tidak tahu harus berusaha apa agar bisa sekolah.
Allah benar-benar Maha Mendengar doa hambaNya. Di tengah perasaan sedih dan serba tidak pasti, tiba-tiba aku mendapatkan berita gembira dari kakak iparku yang sehari-hari bekerja sebagai pekerja bangunan di Jogjakarta. Ia pulang kerja pada hari Sabtu dan kembali ke Jogjakarta hari Senin pagi.
Suatu saat kakak iparku pulang dari kerja, langsung memberi tahu aku bahwa ia telah bertemu dengan sebuah lembaga yang bersedia memberikan bantuan beasiswa kepada aku agar bisa meneruskan sekolah. Betapa senang rasa hatiku mendengar berita tersebut. Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah mengabulkan keinginanku. Aku tidak mau menjadi buruh pencari pasir. Aku ingin sekolah hingga selesai, dan nanti bisa kuliah di Perguruan Tinggi.
Rupa-rupanya di Jogjakarta, secara tidak sengaja kakak iparku bertemu dengan pengurus Yayasan Harapan Umat. Setelah mendapatkan cerita dari kakak iparku, pengurus Yayasan Harapan Umat bisa menyetujui untuk memberikan beasiswa kepada aku, walaupun saat itu besarnya beasiswa belum ditentukan. “Menyesuaikan dengan kemampuan Yayasan,” begitu penjelasan pimpinan Yayasan Harapan Umat. Akupun diminta untuk mengisi formulir permintaan beasiswa.
Setelah mendapat kepastian adanya beasiswa, akhirnya aku mendaftarkan diri di Madrasah Aliyah yang terletak tidak jauh dari rumahku. Sebenarnya ini bukan pilihan terbaik bagiku, karena aku sangat ingin sekolah di kota. Namun ibu dan kakak menyarankan agar aku memilih sekolah yang dekat dengan rumah, agar tidak memerlukan biaya transportasi untuk pergi sekolah nanti. Aku bisa menerima saran tersebut, maka pilihanku jatuh ke Madrasah Aliyah yang ada di kampungku sendiri.
Semua biaya pendaftaran mendapatkan bantuan dari Yayasan Harapan Umat. Alhamdulillah aku diterima di Madrasah Aliyah, dan semenjak saat itu aku mendapatkan beasiswa rutin setiap bulan untuk biaya pendidikanku. Puji syukur tak henti-hentinya aku panjatkan kepada Allah, yang telah memberikan kemudahan bagiku untuk meneruskan sekolah.
Pada bulan Ramadhan 1429 H kemarin, aku mendapatkan undangan dari Yayasan Harapan Umat untuk menghadiri kegiatan di Jogjakarta. Dengan naik bus umum, aku berangkat dari Temanggung menju Jogjakarta, diantar kakak iparku. Saat itu aku mendapatkan pembinaan agama dan sekaligus mendapatkan bingkisan lebaran dari Takmir Masjid Kanwil Dirjen Pajak DIY. Senang sekali aku mendapatkan bingkisan lebaran yang sangat berarti bagi keluargaku. Setelah mengikuti acara di Jogjakarta tersebut aku baru tahu, bahwa Yayasan Harapan Umat bisa memberikan beasiswa kepadaku dan kepada siswa lainnya yang tidak mampu, karena mendapatkan dana dari para donatur.
Pada kesempatan kali ini, dengan ketulusan hati aku ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada para donatur, yang telah memberikan bantuan dana, sehingga aku bisa meneruskan sekolah di Madrasah Aliyah. Selain itu, aku sangat berharap agar beasiswa ini tidak berhenti di tengah jalan, yang membuat aku nanti tidak bisa menyelesaikan sekolah. Mohon dengan sangat dan hormat, mudah-mudahan bapak dan ibu donatur tetap bersedia memberikan bantuan sehingga aku dan teman-teman lain yang mendapatkan beasiswa bisa menyelesaikan sekolah dengan baik.
Seperti diinformasikan oleh Yayasan Harapan Umat kepadaku, diantara para donatur adalah Jama’ah Masjid Sholahuddin Kanwil Dirjen Pajak DIY. Kepada bapak-bapak dan ibu-ibu semuanya, aku selalu mendoakan agar Allah memberikan ganti yang berlipat baik di dunia maupun apalagi di akhirat nanti, atas bantuan yang telah dikeluarkan selama ini. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan bapak-bapak dan ibu-ibu semua. Insyaallah, doa anak yatim sepertiku, ditambah doa ibu dan kakak di rumahku, akan didengarkan oleh Allah.
Aku juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para pengurus Yayasan Harapan Umat yang telah memberikan kesempatan kepada aku untuk bisa mendapatkan beasiswa. Hanya Allah yang bisa membalas dengan kebaikan yang berlipat. Terima kasih, sekali lagi terima kasih, baik kepada Yayasan Harapan Umat maupun kepada Jama’ah Masjid Sholahuddin Kanwil Dirjen Pajak DIY selaku donatur. Semoga Allah berikan surga untuk kita semua. Amin.
Aku juga mohon didoakan, agar bisa mencapai cita-citaku. Aku ingin membahagiakan ibuku. Aku ingin membahagiakan ayahku yang telah berada di haribaan Allah. Semoga ayah berbangga kepadaku, bahwa anaknya bisa sekolah hingga di bangku Madrasah Aliyah. Semoga kelak aku menjadi orang yang bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, nusa, bangsa dan agama. Amin.

Temanggung, 10 Oktober 2008
Dariku, Latifatul Masrurah






            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar