Selasa, 19 Juni 2012

Belanja Kebahagiaan


Oleh : Cahyadi Takariawan


Ambil alat tulis anda, dan tuliskan seluruh benda atau fasilitas yang ingin anda miliki, agar anda mendapatkan kebahagiaan. Ya, tulis semua. Barang atau benda apakah yang anda perlukan dan ingin anda miliki, agar anda bisa merasa bahagia. Jangan ada yang terlewat, pikirkan dan hadirkan keinginan anda, semua harus anda tuliskan. Tidak masalah memerlukan waktu sehari, atau sepekan, atau sebulan, atau setahun, untuk merampungkan daftar keinginan anda tersebut. Yang penting bisa anda tulis semuanya.
Apakah anda sudah selesai menuliskannya ? Ada berapa poin daftar kebutuhan anda agar bisa bahagia ? Coba sebutkan, apa saja yang anda telah tuliskan !
Pertanyaan berikutnya, yakinkah anda bahwa apabila seluruh barang tersebut berhasil anda dapatkan, maka anda akan bahagia ? Jika anda yakin, mari kita segera belanja !

Peradaban Materi
Mari saya ajak anda mengunjungi sebuah negeri yang dipenuhi kekayaan dan keberlimpahan harta. Seorang tokoh masyarakat menghimbau warga agar menggunakan harta kekayaan mereka yang sangat banyak untuk membeli kebahagiaan. Rata-rata warga negeri itu hidup berkecukupan, bahkan berlebih. Mereka bukan saja kaya, tetapi, sangat kaya. Lebih dari orang-orang di negeri lainnya.
“Mari kita membeli kebahagiaan. Karena uang kita banyak, melimpah ruah, tidak akan habis sampai tujuh turunan. Mari kita mulai berbelanja, bayangkan semua hal yang ingin kita beli. Jangan ragu, beli saja semua daftar keinginan kita, toh uang kita tidak terbatas. Jangan seperti orang miskin yang berpikir ribuan kali sekedar membeli sepatu dan baju. Mari mulai membeli”, demikian ajakan tokoh tersebut.
Namun, apakah yang bisa mereka beli dengan segala kekayaan yang mereka miliki? Mereka bisa membeli ranjang berlapis emas murni 24 karat, namun tidak bisa membeli tidur nyenyak. Mereka bisa membeli rumah mewah di tengah kemegahan Beverly Hills, namun tidak bisa membeli ketenangan hati. Mereka bisa membeli obat-obatan mahal, namun tidak bisa membeli kesehatan. Mereka bisa membeli rumah sakit bertaraf internasional dengan dokter-dokter spesialis yang sangat lengkap, namun tidak bisa membeli kehidupan. Mereka bisa membeli seks, namun tidak bisa membeli cinta.
Lihat apa yang bisa dibeli oleh Christina Aguilera. Mudah baginya membeli rumah mewah di kawasan elit Beverly Hills, namun toh ia tidak bahagia. Penyanyi Amerika Serikat itu menjual rumah mewah miliknya di Beverly Hills, dengan harga US$13,5 juta atau setara dengan Rp121,5 miliar. Dilansir dari lamanDaily Mail, rumah tersebut dibeli Aguilera sebesar US$11,5 juta atau setara dengan Rp103,5 miliar dari keluarga Osbourne pada 2008 lalu. Aguilera menjual rumah tersebut, setelah bercerai dari Jordan Bratman. Rumah Aguilera menerapkan berbagai desain interior, mulai dari gothic hingga kontemporer.
Rumah yang terdiri dari enam kamar tidur dan sembilan kamar mandi ini didominasi dengan warna pink dan merah. Rumah tersebut juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas, mulai dari gym, ruang permainan, ruang untuk menonton film, studio rekaman, hingga kolam renang. Ternyata Aguilera hanya bisa membeli rumah mewah di kawasan sangat bergengsi, namun tidak bisa membeli kebahagiaan dan ketenangan hidup.
Lihat pula apa yang bisa dibeli oleh Oprah Winfrey. Ratu talk show ini memiliki sebuah hunian mewah senilai US$55 atau sekitar Rp 500 miliar di kawasan Santa Barbara, California. Rumah seluas 2.136 meter persegi dengan panorama gunung dan laut itu dilengkapi home theater, danau buatan, enam kamar tidur, 14 kamar mandi, dan 10 perapian. Namun, wanita yang dinobatkan sebagai wanita pesohor terkaya dengan kekayaan senilai US$ 2,4 miliar itu memutuskan tak menempatinya. Sehari-sehari, ia memilih tinggal di sebuah villa bergaya Italia seharga Rp 60 miliar. 
Membeli Mabuk
Pada bulan Desember 2010 vivanews   pernah merilis sebuah hasil penelitian kesehatan di Inggris, yang menyatakan bahwa orang yang berpenghasilan tinggi lebih mungkin untuk mengkonsumsi minuman beralkohol lebih banyak ketimbang mereka yang berpenghasilan rendah. Orang kaya juga lebih mungkin mabuk secara teratur dan berpesta minuman alkohol di akhir pekan.
Survei kesehatan Inggris menemukan, 29 persen pria dan 17 persen wanita berpenghasilan tinggi lebih sering minum alkohol dibandingkan 17 persen pria dan 11 persen wanita berpenghasilan rendah. Orang berpenghasilan lebih tinggi minum alkohol dua kali lebih banyak daripada jumlah yang dianjurkan daripada mereka dengan penghasilan rendah.
Mereka lebih cenderung mabuk-mabukan secara teratur minimal lima kali tiap pekan (86 persen pria dan 72 persen wanita) dibandingkan dengan 54 persen pria dan 47 persen wanita berpenghasilan rendah. Survei menunjukkan satu dari empat pria dan satu dari tujuh wanita minum alkohol dua kali daripada jumlah yang direkomendasikan.
Perbedaan usia mempengaruhi perilaku minuman beralkohol. Pada usia 16-24 tahun, hanya 11 persen pria dan 4 persen wanita yang lebih sering minum alkohol. Namun di usia 55-74 tahun, meningkat menjadi 33 persen pada pria dan 17 persen pada wanita.
Seperti dimuat mirror.co.uk, Kepala Eksekutif Pusat Informasi NHS, Tim Straughan, mengatakan, "Angka-angka ini menunjukkan sejauh mana orang-orang dari semua latar belakang dengan kebiasaan minum alkohol yang membahayakan kesehatan."
Data-data tersebut menunjukkan, orang tidak pernah bisa membeli kebahagiaan. Materi hanya memberikan kebahagiaan semu, atau memberikan kesenangan sesaat. Bukan perasaan bahagia yang tertanam kuat dalam jiwa, yang memberikan ketenangan dan ketenteraman hidup, serta memberikan perasaan kecukupan dalam kehidupan. Mereka membeli benda-benda, yang semakin dibeli semakin membuat mereka merasa kekurangan. Tidak pernah merasa cukup, tidak pernah mampu memuaskan. Tidak pernah membahagiakan jiwa.
Kebahagiaan Ruhani
Penelitian lain yang dilakukan oleh tim University of Illinois bersama Gallup Organization yang kemudian diterbitkan di Journal of Personality and Social Psychology, Agustus 2011 membuktikan bahwa saat menghadapi konflik atau situasi sulit, orang yang religius lebih bisa bertahan dan tetap merasakan kebahagiaan dibanding kaum atheis.
Peneliti melakukan analisa data yang dikumpulkan dari tahun 2005 hingga 2009 terhadap orang di 150 negara yang berbicara tentang agama, kepuasan hidup, dan dukungan sosial. Peneliti menemukan bahwa agama memberi dukungan emosional ketika kebutuhan mendasar seperti makanan, pekerjaan, rasa aman, dan pendidikan tidak terpenuhi. Selain itu, orang yang religius cenderung merasa lebih terhormat dan lebih sedikit memiliki perasaan negatif dibanding mereka yang tidak religius.
Kebahagiaan hakiki, harus bermula dari suasana ruhani atau spiritual. Ada keterpaduan yang harmonis antara kebaikan suasana spiritual dan ketercukupan material. Inilah resep kebahagiaan. Buta spiritual tidak akan membuat bahagia. Justru akan mendatangkan petaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar