Oleh : Cahyadi Takariawan
Ambil alat tulis anda, dan tuliskan seluruh benda
atau fasilitas yang ingin anda miliki, agar anda mendapatkan kebahagiaan. Ya,
tulis semua. Barang atau benda apakah yang anda perlukan dan ingin anda miliki,
agar anda bisa merasa bahagia. Jangan ada yang terlewat, pikirkan dan hadirkan
keinginan anda, semua harus anda tuliskan. Tidak masalah memerlukan waktu
sehari, atau sepekan, atau sebulan, atau setahun, untuk merampungkan daftar
keinginan anda tersebut. Yang penting bisa anda tulis semuanya.
Apakah anda sudah selesai menuliskannya ? Ada
berapa poin daftar kebutuhan anda agar bisa bahagia ? Coba sebutkan, apa saja
yang anda telah tuliskan !
Pertanyaan berikutnya, yakinkah anda bahwa
apabila seluruh barang tersebut berhasil anda dapatkan, maka anda akan bahagia
? Jika anda yakin, mari kita segera belanja !
Peradaban Materi
Mari
saya ajak anda mengunjungi sebuah negeri yang dipenuhi kekayaan dan
keberlimpahan harta. Seorang tokoh masyarakat menghimbau warga agar menggunakan
harta kekayaan mereka yang sangat banyak untuk membeli kebahagiaan. Rata-rata
warga negeri itu hidup berkecukupan, bahkan berlebih. Mereka bukan saja kaya,
tetapi, sangat kaya. Lebih dari orang-orang di negeri lainnya.
“Mari
kita membeli kebahagiaan. Karena uang kita banyak, melimpah ruah, tidak akan
habis sampai tujuh turunan. Mari kita mulai berbelanja, bayangkan semua hal
yang ingin kita beli. Jangan ragu, beli saja semua daftar keinginan kita, toh
uang kita tidak terbatas. Jangan seperti orang miskin yang berpikir ribuan kali
sekedar membeli sepatu dan baju. Mari mulai membeli”, demikian ajakan tokoh
tersebut.
Namun,
apakah yang bisa mereka beli dengan segala kekayaan yang mereka miliki? Mereka
bisa membeli ranjang berlapis emas murni 24 karat, namun tidak bisa membeli
tidur nyenyak. Mereka bisa membeli rumah mewah di tengah kemegahan Beverly
Hills, namun tidak bisa membeli ketenangan hati. Mereka bisa membeli
obat-obatan mahal, namun tidak bisa membeli kesehatan. Mereka bisa membeli rumah
sakit bertaraf internasional dengan dokter-dokter spesialis yang sangat
lengkap, namun tidak bisa membeli kehidupan. Mereka bisa membeli seks, namun
tidak bisa membeli cinta.
Lihat
apa yang bisa dibeli oleh Christina Aguilera. Mudah baginya membeli rumah mewah
di kawasan elit Beverly Hills, namun toh ia tidak bahagia. Penyanyi Amerika
Serikat itu menjual rumah mewah miliknya di Beverly Hills, dengan harga US$13,5
juta atau setara dengan Rp121,5 miliar. Dilansir dari lamanDaily Mail, rumah
tersebut dibeli Aguilera sebesar US$11,5 juta atau setara dengan Rp103,5 miliar
dari keluarga Osbourne pada 2008 lalu.
Aguilera
menjual rumah tersebut, setelah bercerai dari Jordan Bratman. Rumah Aguilera menerapkan berbagai desain
interior, mulai dari gothic hingga
kontemporer.
Rumah yang terdiri dari enam kamar
tidur dan sembilan kamar mandi ini didominasi dengan warna pink dan merah.
Rumah tersebut juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas, mulai dari gym, ruang
permainan, ruang untuk menonton film, studio rekaman, hingga kolam renang.
Ternyata Aguilera hanya bisa membeli rumah mewah di kawasan sangat bergengsi,
namun tidak bisa membeli kebahagiaan dan ketenangan hidup.
Lihat pula apa yang
bisa dibeli oleh Oprah Winfrey. Ratu talk show ini memiliki sebuah hunian mewah
senilai US$55 atau sekitar Rp 500 miliar di kawasan Santa
Barbara, California. Rumah seluas 2.136 meter persegi dengan panorama gunung
dan laut itu dilengkapi home theater, danau buatan, enam kamar tidur, 14 kamar
mandi, dan 10 perapian. Namun,
wanita yang dinobatkan sebagai wanita pesohor terkaya dengan kekayaan senilai
US$ 2,4 miliar itu memutuskan tak menempatinya. Sehari-sehari, ia memilih
tinggal di sebuah villa bergaya Italia seharga Rp 60 miliar.
Membeli Mabuk
Pada
bulan Desember 2010 vivanews pernah merilis sebuah hasil penelitian
kesehatan di Inggris, yang menyatakan bahwa orang yang berpenghasilan tinggi
lebih mungkin untuk mengkonsumsi minuman beralkohol lebih banyak ketimbang
mereka yang berpenghasilan rendah. Orang kaya juga lebih mungkin mabuk secara
teratur dan berpesta minuman alkohol di akhir pekan.
Survei
kesehatan Inggris menemukan, 29 persen pria dan 17 persen wanita berpenghasilan
tinggi lebih sering minum alkohol dibandingkan 17 persen pria dan 11 persen
wanita berpenghasilan rendah. Orang berpenghasilan lebih tinggi minum alkohol
dua kali lebih banyak daripada jumlah yang dianjurkan daripada mereka dengan
penghasilan rendah.
Mereka
lebih cenderung mabuk-mabukan secara teratur minimal lima kali tiap pekan (86
persen pria dan 72 persen wanita) dibandingkan dengan 54 persen pria dan 47
persen wanita berpenghasilan rendah. Survei menunjukkan satu dari empat pria
dan satu dari tujuh wanita minum alkohol dua kali daripada jumlah yang
direkomendasikan.
Perbedaan
usia mempengaruhi perilaku minuman beralkohol. Pada usia 16-24 tahun, hanya 11
persen pria dan 4 persen wanita yang lebih sering minum alkohol. Namun di usia
55-74 tahun, meningkat menjadi 33 persen pada pria dan 17 persen pada wanita.
Seperti dimuat mirror.co.uk, Kepala Eksekutif Pusat Informasi NHS, Tim Straughan, mengatakan, "Angka-angka ini menunjukkan sejauh mana orang-orang dari semua latar belakang dengan kebiasaan minum alkohol yang membahayakan kesehatan."
Seperti dimuat mirror.co.uk, Kepala Eksekutif Pusat Informasi NHS, Tim Straughan, mengatakan, "Angka-angka ini menunjukkan sejauh mana orang-orang dari semua latar belakang dengan kebiasaan minum alkohol yang membahayakan kesehatan."
Data-data
tersebut menunjukkan, orang tidak pernah bisa membeli kebahagiaan. Materi hanya
memberikan kebahagiaan semu, atau memberikan kesenangan sesaat. Bukan perasaan
bahagia yang tertanam kuat dalam jiwa, yang memberikan ketenangan dan
ketenteraman hidup, serta memberikan perasaan kecukupan dalam kehidupan. Mereka
membeli benda-benda, yang semakin dibeli semakin membuat mereka merasa
kekurangan. Tidak pernah merasa cukup, tidak pernah mampu memuaskan. Tidak
pernah membahagiakan jiwa.
Kebahagiaan Ruhani
Penelitian
lain yang dilakukan oleh tim University of Illinois bersama Gallup Organization
yang kemudian diterbitkan di Journal of
Personality and Social Psychology, Agustus 2011 membuktikan bahwa saat
menghadapi konflik atau situasi sulit, orang yang religius lebih bisa bertahan
dan tetap merasakan kebahagiaan dibanding kaum atheis.
Peneliti
melakukan analisa data yang dikumpulkan dari tahun 2005 hingga 2009 terhadap
orang di 150 negara yang berbicara tentang agama, kepuasan hidup, dan dukungan
sosial. Peneliti menemukan bahwa agama memberi dukungan emosional ketika
kebutuhan mendasar seperti makanan, pekerjaan, rasa aman, dan pendidikan tidak
terpenuhi. Selain itu, orang yang religius cenderung merasa lebih terhormat dan
lebih sedikit memiliki perasaan negatif dibanding mereka yang tidak religius.
Kebahagiaan
hakiki, harus bermula dari suasana ruhani atau spiritual. Ada keterpaduan yang
harmonis antara kebaikan suasana spiritual dan ketercukupan material. Inilah
resep kebahagiaan. Buta spiritual tidak akan membuat bahagia. Justru akan
mendatangkan petaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar