Sumber :
islamic-world.net
Ada beberapa kisah kepedulian sosial
yang terjadi pada masa Rasulullah. Boleh jadi sebagian dari kita sudah hafal
isi kisah tersebut namun kesibukan sehari-hari membuat kita sejenak terlupa,
boleh jadi sebagian dari kita sudah paham betul esensi dari kisah yang akan
disampaikan di bawah ini, namun tak ada salahnya untuk sedikit merenungi
kembali kisah-kisah ini dan berkaca ke lubuk hati kita. Di bagian lain kita
akan lihat sejumlah ayat Qur’an yang berkenaan dengan tema utama kita kali ini.
Kita terbang lima belas abad
kebelakang. Di suatu tempat terlihat Rasulullah saw berkumpul bersama para
sahabatnya yang kebanyakan orang miskin. Sekedar menyebut beberapa nama sahabat
yang hampir semuanya bekas budak, yaitu Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir,
Bilal, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Pakaian mereka lusuh, berupa jubah bulu yang
kasar. Tetapi mereka adalah sahabat senior Nabi, para perintis perjuangan
Islam.
Nabi Saw Merawat Kaum Dhuafa
Serombongan bangsawan yang baru masuk
islam datang ke majelis Nabi. Ketika melihat orang-orang di sekitar Nabi,
mereka mencibir dan menunjukkan kebenciannya. Mereka berkata kepada Nabi, “Kami
mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis khusus bagi kami.
Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai
kabilah arab akan datang menemuimu. Kami malu kalau mereka melihat kami duduk
dengan budak-budak ini. Apabila kami datang menemui Anda, jauhkanlah mereka
dari kami. Apabila urusan kami sudah selesai, bolehlah anda duduk bersama
mereka sesuka Anda.”
Uyainah bin Hishn menegaskan lagi,
“Bau Salman al-Farisi mengangguku (Ia menyindir bau jubah bulu yang dipakai
sahabat nabi yang miskin). Buatlah majelis khusus bagi kami sehingga kami tidak
berkumpulbersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak
berkumpul bersama kami.”
Tiba-tiba turunlah malaikat jibril
menyampaikan surat al-An’am [6] ayat 52:
“Dan janganlah kamu mengusir
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang
mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun
terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab
sedikitpun terhadap perbuatanmu,yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka,
sehingga kamu termasukorang-orang yang zalim.”
Nabi saw segera menyuruh kaum fukara
duduk lebih dekat lagi sehingga lutut-lutut mereka merapat dengan lutut
Rasulullah saw. “Salam ‘Alaikum,” kata Nabi dengan keras, seakan-akan
memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.
Setelah itu, turun lagi surat al-Kahfi
[18] ayat 28:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama
dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta
menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
Sejak itu, apabila kaum fukara ini
berkumpul bersama Nabi, beliau tidak meninggalkan tempat sebelum orang-orang
miskin itu pergi. Apabila beliau masuk ke majelis, beliau memilih duduk dalam
kelompok mereka.Seringkali beliau berkata, “Alhamdulillah, terpuji Allah yang
menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama
mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim
dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum
orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka
bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya.”
Sekarang bukalah cermin di hati kita.
Tariklah nafas sejenak untuk berkaca ke dalam cermin itu. Apakah kita seperti
pembesar Quraisy yang terganggu dengan bau tubuh orang miskin. Apabila tamu
datang, kota kita bersihkan dan mereka, kaum fukara, dipinggirkan. Kota baru
gemerlap bila mereka disingkirkan. Pemandangan baru indah bila rumah-rumah
kumuh digusur. Ah…betapa perilaku kita lebih menyerupai pembesar Quraisy
daripada perilaku Nabi Yang Mulia.
Jalan yang Sulit
Dalam kesempatan lain Nabi bertemu
dengan seorang sahabat, Sa’ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang
melepuh karena kerja keras. Nabi bertanya, “mengapa tanganmu hitam, kasar dan
melepuh?” Sa’ad menjawab, “tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi
keluargaku.” Nabi yang mulia berkata, “ini tangan yang dicintai Allah,” seraya
mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang
tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para sahabat, kini mencium tangan
yang hitam, kasar dan melepuh.
Bukalah cermin hati kita lagi.
Turunlah kita ke bawah. Tengoklah jutaan tangan yang hitam dan melepuh menunggu
uluran kasih sayang kita. Setelah Nabi, adakah di antara kita yang mau mencium
tangan orang miskin? Bukankah dengan status yang kita miliki, gelar akademik
yang kita raih, kesejahteraan yang kita nikmati, kita merasa jauh lebih pantas
bila orang miskin mencium tangan kita. Kalau hati terasa berat, andaikata
kultur tak mengizinkan kita berbuat hal itu, manakala ego terasa meningkat,
bukankah paling tidak kita ganti rasa hormat yang seharusnya kita berikan
dengan kasih sayang pada mereka. Bila Nabi mau mencium tangan mereka, maukah
kita untuk paling tidak menyisihkan sebagian rezeki yang kita peroleh sebagai
rasa sayang kita pada mereka.
Di atas kita telah mengutip sejumlah
kisah dalam hidup Nabi. Bukankah sebagai ummatnya kita telah berikrar untuk
menjadikan segala perilaku beliau sebagai contoh teladan (uswatun hasanah).
Untuk menguatkan bahwa Islam sangat menonjolkan kepedulian sosial, mari kita
buka Al-Qur’an. Bukankah Al-Qur’an adalah rujukan kita yang pertama dalam hidup
ini.
Surat al-Balad [90] ayat 10 -18:
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya
dua jalan Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang
mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalanyang mendaki lagi sukar itu?
(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari
kelaparan (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang
sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang beriman dan saling berpesan untuk
bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang
beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.”
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa
ada dua jalan yang bisa kita pakai dalam memanfaatkan harta kita. Al-Qur’an
menyarankan kita untuk mengambil jalan yang sukar dan mendaki, yaitu
memerdekakan budak atau memberi makan pada anak yatim atau orang miskin. Allah
tidak menjelaskan tentang jalan yang mudah, melainkan memberi contoh jalan yang
sukar.
Mengapa disebut jalan yang sukar?
karena kebanyakan manusia enggan atau merasa berat atau merasa sukar untuk
melakukannya. Bila kita mampu mengalahkan rasa berat dan rasa sukar pada diri
kita dalam beramal, maka Allah menjanjikan kita termasuk golongan yang kanan;
ahli surga. Bukalah cermin hati kita sekali lagi. Apakah kita merasa sukar
untuk beramal pada orang miskin dan anak yatim? Hanya cermin hati yang teramat
dalam yang mampu menjawabnya dengan jujur.
Surat al-Ma’arij [70] ayat 19-25:
“Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,dan orang-orang
yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta
dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.
Secara tegas Allah menyebutkan bahwa
keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat bawaan manusia sejak ia
diciptakan. Allah melukiskan sifat manusia dengan sangat baik. Bagi saya pribadi,
ayat di atas telah menelanjangi sifat kita. Bukankah kalau kita tidak memiliki
harta kita sering berkeluh kesah, sebaliknya, kalau memiliki banyak harta kita
cenderung untuk kikir. Lalu bagaimana caranya agar sifat bawaan (keluh kesah
& kikir) kita tersebut tidak menjelma atau dapat kita padamkan.
Allah menyebutkan, paling tidak, dua
jalan. Pertama, mengerjakan sembahyang secara kontinu. Kedua, menyadari bahwa
dalam harta yang kita miliki terkandung bagian tertentu untuk fakir miskin. Dua
resep ini insya Allah akan mampu memadamkan sifat keluh kesah dan sifat kikir
yang kita miliki.
Kisah Para Pemilik Kebun
Sekali lagi, bukalah cermin hati kita.
Tahanlah nafas kita untuk sejenak. Tidakkah kita rasakan bagaimana Allah
menyinggung perilaku buruk kita dalam ayat-ayat-Nya yang suci. Subhanallah….
Surat al-Qalam [68] ayat 17-33:
“Sesungguhnya Kami telah menguji
mereka (musyrikin Mekkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun,
ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya
di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan : insya Allah. Lalu kebun itu
diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka
jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka
panggilmemanggil di pagi hari”.
“Pergilah di waktu pagi (ini) ke
kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling
berbisik-bisikan. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun masuk ke dalam
kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi
(orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat
kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang
sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).”
Berkatalah seorang yang paling baik
pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah
kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?” Mereka mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebagian mereka
menghadapi sebagian yang lain seraya cela mencela Mereka berkata: “Aduhai
celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan
Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada
itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita”. Seperti itulah
azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.”
Sekelompok ayat di atas menceritakan
sebuah kisah nyata yang terjadi sebelum masa Rasulullah. Kisah pemilik kebun di
atas melukiskan dengan sangat baik betapa harta manusia itu tak ada artinya
dibanding kekuasaan Allah. Kebun yang sudah sekian lama diurus dan tinggal
sekejap mata saja untuk dipetik hasilnya menjadi musnah terbakar. Apa kesalahan
pemilik kebun tersebut sehingga mendapat azab sedemikian rupa?
Pertama, mereka lupa bahwa Allah
berkuasa atas segala sesuatu. Ini dilukiskan dalamayat di atas ketika mereka
tidak menyebut insya Allah; mereka merasa pasti akan meraih hasil yang luar
biasa. Mereka lupa bahwa sedetik kedepan kita tak tahu apa yang terjadi dengan
hidup kita. Kita tak tahu “skenario” Allah terhadap diri kita.
Kedua, mereka bersifat kikir. Mereka
sudah bersiap-siap agar orang miskin tak bisa masuk ke kebun mereka saat panen
tiba. Allah murka pada mereka. Allah turunkan azab-Nya pada mereka. Di akhir
ayat Allah mengingatkan bahwa azab yang Allah timpakan pada pemilik kebun
hanyalah azab dunia; sedangkan azab akherat jauh lebih besar lagi!
Cermin hati kita mengatakan bahwa agar
tidak tertimpa azab Allah di dunia, manakala kita memiliki kelebihan rezeki
maka janganlah sungkan untuk memberi sebagian pada orang miskin. Cermin hati
telah berkata, mampukah kita melaksanakan kata-hati kita?
Kalau Allah mampu memusnahkan dengan
amat mudah kebun yang siap dipanen, jangan-jangan Allah pun akan memusnahkan
sumber penghasilan kita, bila kita berlaku kikir! Na’udzu billah…
Demikianlah sekedar pengantar untuk
pengajian kita; sekedar saling ingat mengingatkan bahwa di cermin hati kita
telah tergambar sejumlah orang yang membutuhkan kepedulian kita. Persoalannya,
maukah kita melihat ke dalam cermin tersebut?
source :
http://www.pkpu.or.id/zakat.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar