Oleh : Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.
Pesta
itu baru saja usai. Kerabat dan kenalan kembali ke rumah masing-masing.
Pengusaha muda yang sukses itu baru saja mengadakan acara tasyakuran peresmian
dua rumah yang baru saja dibelinya. Dua rumah yang bersebelahan itu berada di
sebuah kompleks perumahan mewah.
Semua
ikut merasa gembira mensyukuri rezeki yang dianugerahkan Allah SWT kepada
pengusaha muda itu. Semua tahu 10 tahun lalu hidupnya masih susah. Ia tinggal
di rumah kontrakan, penghasilan pas-pasan, ke mana-mana naik angkutan umum.
Sekarang ia punya ruko, beberapa buah mobil, dan perusahaan yang sedang maju
pesat.
Sehabis
shalat Zuhur, pengusaha muda itu mengantarkan bapak kandung dan ibu tirinya ke
terminal bus antar provinsi. Ibu kandungnya sudah lama meninggal dunia. Setelah
itu, dia meluncur kembali ke rumah. Rupanya Allah berkehendak lain. Tiba-tiba
ia terkena serangan jantung dan nyawanya tidak tertolong.
Pengusaha
muda yang baru berumur 42 tahun itu meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah
sakit. Segera para kerabat diberi tahu. Banyak yang tidak percaya, baru kemarin
berkumpul bersama dengan penuh gelak tawa.
Pada malam ketiga setelah kematian
almarhum, diada kan lah musyawarah keluarga menyangkut warisan. Sesuai dengan
hukum waris Islam, pembagiannya mudah saja. Bapak dari almarhum dapat 1/6.
Istri dapat 1/8 bagian dan anak-anak (satu laki-laki dan tiga perempuan) dapat
sisanya dengan komposisi anak laki-laki dapat dua bagian anak perempuan.
Sang bapak akan mendapat warisan yang
lumayan banyak. Sudah terbayang dalam pikiran orang tua itu bahwa uang tersebut
akan digunakan untuk membangun masjid, pergi haji sekali lagi, sebagian akan
dibagikannya kepada anak-anak saudara almarhum. Tapi, yang terjadi sungguh di
luar dugaan. Istri almarhum keberatan memberikan bagian warisan kepada
mertuanya.
Begitulah sisi buruk manusia,
keserakahan segera muncul mengalahkan kepatuhannya terhadap hukum Allah.
Padahal, peninggalan almarhum sangat banyak, lebih dari cukup untuk keperluan
pendidikan anak-anak. Sudah banyak kerabat mengingatkan, seperenam peninggalan
almarhum tidak halal dimilikinya karena itu bukan haknya. Tapi, dia tetap kukuh
pada keputusannya, hingga orang tua itu meninggal dunia tujuh tahun kemudian
tanpa pernah menerima bagiannya.
Perempuan itu mencoba bertahan
membesarkan anak sendirian. Dia takut menikah lagi karena khawatir dapat suami
yang akan menghabisi hartanya. Tetapi, karena tidak memiliki ilmu dan
pengalaman, di tangannya perusahaan suaminya lama-lama semakin menurun.
Akhirnya, dia putuskan menikah dengan
harapan dapat suami yang akan mendampinginya mengelola perusahaan. Sayang dia
tertipu, ternyata suami barunya penjudi. Perusahaan jatuh bangkrut dan
kekayaannya habis tak bersisa. Bisnis berhenti, sementara utang menumpuk di bank.
Demikianlah, harta yang haram tidak akan mendatangkan berkah, bahkan bisa
membawa habis harta yang halal.
sumber:
www.republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar