Republika – Jum,
13 Apr 2012
Wajah Heppy Trenggono pucat pasi melihat beberapa lelaki
berbadan tegap hilir mudik di kantor PT Balimuda Persada. Silih berganti mereka
mengecek lokasi kerja Heppy di bilangan Mampang, Jakarta Selatan. Tujuan mereka
satu, menagih utang perusahaan berupa alat berat senilai Rp 62 miliar. “Itu
kejadian sekitar tahun 2005. Jumlah utang saya melebihi aset perusahaan,“
kenang lelaki kelahiran Batang, Jawa Tengah, ini.
Kondisinya
kini berbalik 360 derajat. Bos Grup Balimuda itu sudah mampu menggawangi 12
anak perusahaan serta menafkahi sekitar 3.000 pegawai. Heppy pun kini dikenal
piawai dalam memberikan advice kepada pengusaha yang sedang terpuruk untuk
bangkit kembali.
“Kegagalan
saya saat itu, berawal dari ambisi ingin kelihatan sukses,“ kata Heppy yang
sudah mengenal bisnis berupa jualan permen sejak SD. Untuk mencapai mimpinya,
pria kelahiran 20 April 1967 ini nekat melakukan sesuatu di luar kemampuan,
dengan jalan ekspansi besarbesaran tanpa kalkulasi bisnis dan prospek yang
matang.
Semula,
Balimuda yang bergerak dalam bidang land clearing untuk kelapa sawit itu adalah
bisnis sambilan ketika Heppy menjadi direktur Teknik Lativi. Tapi, ketika Heppy
mengambil pilihan untuk makin membesarkan usahanya maka keluarlah dia dari
Lativi. Jenis usaha pembersihan lahan itu mengunakan banyak peralatan berat.
Pengalaman bekerja di United Tractor, perusahaan yang bergerak dalam penjualan
alat berat, sangat berarti. Pembukaan lahan itu dimulai ketika menjadi
subkontraktor dari perusahaan Malaysia. Usaha itu rupanya berkembang pesat
sehingga Balimuda bukan lagi subkontraktor melainkan sudah kontraktor.
Proyek besar
sebagai kontraktor yang digarap adalah proyek dari Gudang Garam yang ingin
membuka lahan di Kalimantan Timur pada akhir 2002. Proyek itu didapat dengan
susah payah. Intuisi bisnis diawali dengan penciuman bisnis yang tepat, Heppy
melakukan jemput bola dengan mendatangi kantor Gudang Garam dari pagi hingga
sore. Dan itu berhasil.
Bisnis kian
berkembang, kebutuhan dana makin besar. Saat itu yang dilakukan Heppy adalah
memutar uang dari berbagai kreditor. Dari bank, misalnya, dia mendapat pinjaman
80 persen dari nilai proyek. Kemudian, untuk pengadaan alat berat dia mencicil
dari United Tractor, bahkan uang muka pun dia minta diangsur selama 12 bulan.
“Di situlah agaknya awal kehancuran bisnis saya,“ katanya.
Ia mengakui,
betul-betul terlena dengan pinjaman usaha dan tak mampu mengontrol diri.
Ekspansinya kebablasan dengan menambah banyak alat berat, sehingga dia tidak mampu
membayar utang. Bahkan, akhirnya semua hartanya terkuras habis.
Karyawan
sebanyak 400 orang pun membubarkan diri sebelum dilakukan pemecatan. “Mereka
(karyawan) pergi membawa aset perusahaan yang ada,“ ucap anak ketiga dari
delapan bersaudara ini. Dia mengaku tidak bisa berbuat apa-apa lantaran tak
mampu menggaji pegawainya. Yang bisa dia lakukan saat itu cuma memohon
perpanjangan tempo pembayaran utang kepada para kreditur.
“Saya mulai
sadar bahwa nafsu untuk kelihatan sukses justru akan membuat diri sendiri
terpuruk,“ ungkap ayah empat anak ini. Kesadaran itu menimbulkan semangat untuk
bangkit. Langkah pertama adalah mengubah haluan bisnis. Heppy tak lagi sebagai
kontraktor, tapi menjadi broker bagi perusahaan yang akan terjun ke bisnis
kelapa sawit. Dia merasa pekerjaan inilah yang paling memungkinkan dan
risikonya kecil.
Beberapa lama
kemudian, Heppy tak hanya jadi broker tapi sedikit demi sedikit juga mulai
memiliki lahan kelapa sawit. Dan berkat keuletannya, kebun itu semakin besar.
Bersamaan dengan itu utang yang segunung pun kemudian lunas dalam waktu tiga
tahun.
Kini, bersama
mitra bisnisnya, Heppy sudah memiliki 80 ribu hektare lahan kelapa sawit di
beberapa daerah di Kalimantan Timur dan Sumatra. Tidak tanggungtanggung, total
investasinya sekitar Rp 4 triliun.
Sukses di
kelapa sawit, Balimuda merambah produk konsumer. Bisnis baru ini dipayungi
Heppyfoods yang membawahkan PT Balimuda Food dan PT Industri Pangan Indonesia
yang didirikan tahun 2006. Meski belum setenar perusahaan produk konsumer besar,
produk Heppyfoods yang pabriknya berada di BSD City Tangerang mampu menyeruak
di pasaran. Salah satu produknya adalah bubur instan berbahan kentang dengan
merek Potayo.
Heppy
mempekerjakan ribuan karyawan dengan sistem kekeluargaan. Ia cenderung ingin
membangun karakter karyawan ketimbang menerapkan target yang muluk-muluk. Yang
bisa menyulut kemarahan Heppy justru ketika karyawan tidak bisa menerapkan
falsafah `inspiring and giving the world'. Perwujudannya membekas dari karakter
karya-wannya yang berintegritas tinggi.
Gaya
kepemimpinan Heppy adalah keteladanan. Ia ingin menunjukkan bagaimana hidup
secara benar kepada bawahan. Misalnya, soal ke jujuran, dia selalu terbuka soal
pengeluaran perusahaan. Ini dimaksudkan agar karyawan tidak berlaku culas ketika
diberi tanggung jawab.
Kerajaan
bisnis yang dibangunnya bukan hanya menimbun materi. Heppy juga ingin
menginspirasi orang lain. Secara berkala dia melibatkan masyarakat sekitar
kantornya untuk beraktivitas. Caranya dengan setiap hari memberikan sarapan
kepada ratusan kaum dhuafa di sekitar rumahnya di Jl Mampang Prapatan X. “Kita
jangan sejahtera sendirian, tapi juga lingkungan sekitar,“ ujar Heppy.
Nilai moral
yang diajarkan Heppy dan sangat melekat di hati karyawan adalah tradisi untuk
menyisihkan 10 persen penghasilan buat kegiatan amal. Heppy juga piawai memilih
karyawan untuk menduduki posisi tertentu. Baginya, orang pintar itu banyak.
Tapi orang yang mau dididik itu sedikit.
Seiring dengan
semangat menginspirasi, Heppy juga membentuk komunitas Indonesian Islamic Business Forum. Ini merupakan komunitas yang
beranggotakan pengusaha dan calon pengusaha. Tak sedikit anggota IIBF yang
punya pengalaman seperti Heppy, yakni bangkrut karena ketidakhati-hatian. Di
sinilah Heppy berperan membangkitkan moral mereka.
Belakangan,
Heppy juga menggagas lahirnya gerakan Beli Indonesia yang dicetuskan pada 27
Februari 2011 bersama 504 pengusaha dari 42 kota di Indonesia. Beli Indonesia
adalah gerakan membangun karakter bangsa yang membela bangsa sendiri, yaitu
sikap untuk membeli produk bukan dengan alasan lebih baik atau lebih murah,
tetapi karena milik bangsa sendiri.
Heppy prihatin
pada kondisi perekonomian Indonesia yang justru banyak dijajah produk asing.
“Indonesia seperti yang dikatakan Presiden Soekarno pada tahun 1930, akan
bertumbuh menjadi bangsa besar. Hanya kita kurang menyadari bahwa kita telah
menyerahkan hampir seluruh hidup kita ke pihak asing.''
Republika, indah wulandari, ed: anif punto utomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar