Kamis, 06 Oktober 2011

Kecerdasan Sosial

Oleh : Rizqa Derfiora

Sepuluh tahun yang lalu dipenghujung Desember tahun 1999 saya kebetulan pernah menulis sebuah artikel disitus berpolitik.com yang mengilustrasikan realita lalu lintas di ibukota sebagai cerminan realita masyarakat Indonesia umumnya termasuk didalamnya realita politik dan hukum.

Walaupun lalu lintas kita telah dilengkapi dengan rambu-rambu, sistem lampu merah dan pembatas jalan yang jelas, namun keberadaan infrastruktur ini belum mampu menjadikan lalu lintas teratur di sata-saat kritis. Ketika lalu lintas menjadi ramai dan macet, maka rambu-rambu itu tidak segan-segan dilanggar, lampu merah sering diacuhkan, setiap pengemudi menanti kesempatan menyalip merubah jalur, batas jalan untuk dua jalur bisa tersihir menjadi empat jalur dan hampir di setiap persimpangan jalan yang macet atau jalan putar balik tiba-tiba diramaikan para „polisi” cepek. Itulah realitas lalu lintas ibukota.


Kesimpulan saya waktu itu, realita lalu lintas adalah refleksi realita masyarakat Indonesia yang lebih umum yang lebih luas termasuk didalamnya realita politik dan hukum. Jika realita lalu lintas berubah menjadi baik, adalah keyakinan saya, pastilah realita yang lebih luas telah berubah menjadi baik. Bukan bermaksud mengeluh, mengejek atau ada niat jelek, tapi itulah realitas kita apa adanya. Pada saat itu saya belum sempat mengaitkan realitas umum tersebut dengan sikap masyarakat kita dalam hal yang berkaitan dengan sampah.

Artikel tersebut adalah artikel saya pertama dan sekaligus yang terakhir dalam situs tersebut. Pada saat itu saya baru saja beberapa bulan memulai penilitian Doktorarbeit saya di Friedrich Alexander Universität di Erlangen. Artikel itu hanya memberikan gambaran, tapi belum bisa memberi jawaban mengapa realita masyarakat Indonesia menjadi seperti itu.

Sepuluh tahun reformasi, namun realita lalu lintas belum banyak berubah walau sudah ada busway. Selama itu juga saya sering bertanya pada diri sendiri, apa sebenarnya penyebab non fisik utama realita seperti itu. Padahal katanya masyarakat sudah semakin cerdas sudah tidak bisa dibodoh-bodohi lagi. Mengapa kecerdasan itu tak tercermin di jalan raya? Mengapa sampah masih menumpuk di kali? Boleh jadi reformasi telah menjadikan manusia indonesia menjadi lebih cerdas.

Kita bangga reformasi telah melahirkan banyak pelajar Indonesia memenangkan olimpiade matematika dan fisika di ajang internasional. Belakangan kita semakin bangga ternyata banyak ilmuwan dari tanah air yang berhasil di di luar negeri. Tapi kok? Berikut ini pembuka menuju jawabannya.

Sewaktu masih bekerja di Indonesia, awal tahun 1998 saya sering ke Serang mengunjungi sahabat dan sekaligus pelanggan saya di Pabrik Texmaco. Sahabat saya ini berkebangsaan India yang bernama Laksmiramayana. Beliau perancang mesin textil yang akan diproduksi massal di Serang sebagai komoditas ekspor. Saya waktu itu kebetulan bertugas sebagai Sales Manager di perusahaan yang sama tempat saya bekerja sekarang ini di Jerman, yang sedang menawarkan solusi sistem penggerak listrik yang lebih sederhana dari rancangan team perancang mesin textil Texmaco.

Pada saat mengobrol beliau sempat berkomentar tentang kerja sama dalam team perancang mesin tekstil, “Secara individu IQ tiap anggota team kami mungkin diatas 139, tapi sebagai tim seringkali tidak melampui 100″, beliau berkata ironis. Sebulan sesudah sukses uji coba solusi yang saya tawarkan, order dari beliau datang.

Komentar beliau ini adalah kunci jawaban pertanyaan saya di penghujung tahun 2009 ini. Mengapa orang di negara mapan mau bersabar antri, mengapa jalan macet tapi masih bisa teratur dan mengapa membuang sampah pada tempatnya bahkan konsisten memisahnya sebagai sampah bio, sampah recycle, sampah kertas dan sampah sisa? Jawabnya sederhana,. Salah satu faktor non fisik dan non teknis yang terpenting, karena menyangkut hal-hal diatas mereka memiliki kecerdasan sosial yang tinggi!

Walaupun mungkin kecerdasan tiap individu mereka hanya rata-rata. Kecerdasan sosial yang tinggi adalah kemampuan tiap individu untuk bersikap sebagai makhluk sosial dalam mencapai suatu tujuan jangka panjang yang lebih besar secara bersama-sama. Ini mungkin agak kontradiktif, karena sering banyak tuduhan bahwa masyarakat di negara mapan adalah masyarakat yang individualis. Sedangkan masyarakat kita yang terkenal dengan tradisi gotong-royong, mengapa kecerdasan sosialnya masih sulit berkembang?

Tulisan ini saya tutup dengan komentar cerita lima orang buta yang diminta untuk menggambarkan seekor gajah yang telah mereka pegang dan raba. Masing-masing orang buta menggambarkan gajah sebagai objek yang berbeda. Yang pertama mengatakan gajah seperti batang pohon kelapa karena dia memegang kakinya. Yang kedua megatakan gajah seperti tali tambang karena dia memegang ekornya. Yang ketiga megatakan gajah seperti tampah beras karena dia memegang kupingnya. Yang keempat mengatakan seperti pipa, karena dia memegang belalainya. Yang kelima mengatakan seperti tong besar karena memegang perutnyanya.

Pelajaran dari cerita ini, bahwa kitalah orang-orang buta itu yang hanya mampu meraba realita dan kebenaran secara parsial. Tak ada yang bisa mengklaim bahwa dia paling benar. Namun dengan kecerdasan sosial yang tinggi orang-orang buta ini bisa bekerja sama berbagi dan menerima kebenaran dari satu dan lainnya. Secara bersama mereka bisa menggambarkan gajah lebih dekat pada realita dan kebenaran yang ada.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar