Senin, 31 Oktober 2011

Jaminan Sosial, Hak Untuk Siapa?

Oleh : Risfaisal




Tujuan dibentuknya suatu negara menurut seorang filsuf Yunani Aristoteles tidak lain bahwa untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu individu tertentu. Dengan kesejahteraan seluruh masyarakat maka kesejahteraan individu akan tercapai dengan sendirinya.

Menilik kembali era kepemimpinan SBY-Boediono yang selama berjalan tentunya menimbulkan suatu tanda tanya. Diantaranya bagaimana efektifitas kinerja yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan dan pemberian hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945.

Ribuan buruh Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) dan berbagai LSM yang ada menuntut agar mengesahkan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS. Tepat dimalam hari, akhirnya DPR mengesahkan RUU BPJS menjadi Undang-undang dan setidaknya menjadi tumpuan harapan agar menjadi dasar perbaikan pelayanan jaminan sosial di tanah air ( tempointeraktif.com 28/10/11).


Atas tuntutan tersebut, juga menegasikan bahwa selama ini masih terjadi beberapa ketimpangan sosial (Das Sein Das Sollen) dan kian kompleksnya permasalahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat terutama masyarakat kaum buruh yang belum mendapatkan hak sepenuhnya.

Menurut Menko Perekonomian Hatta Radjasa dan SBY mengatakan bahwa jumlah kemiskinan di Indonesia telah berkurang dengan melaporkan data-data statistik yang ada. Hal tersebut tentu bersifat kontras terhadap kondisi riil di lapangan dan ketika melihat pemberitaan media stasiun TV yang sungguh memprihatinkan.

Diantaranya adalah para orang tua terpaksa mengurungkan niatnya untuk berobat ke rumah sakit karena keterbatasan biaya (finansial), kasus gizi buruk yang melanda, kemiskinan berputar-putar yang bersifat klasik, hak kaum buruh yang terpinggirkan dan mereka belum mendapatkan jaminan sosial atas negara, dll.

Ketika hal tersebut dikesampingkan maka terjadi sebuah penghianatan konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 40 tahun 2004, bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabat menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.

Pertanyaan yang patut dilontarkan, dimanakah hak jaminan sosial tersebut berada ataukah tujuan secara filosofis dalam amanat konstitusi tersebut hanya bersifat klise atau diperuntukkan segelintir orang tertentu ?

Jaminan Sosial Masih Memprihatinkan

Refleksi kemerdekaan Indonesia yang diraih, perlu dipertanyakan ketika masih banyak masyarakat yang tidak mampu hidup selayaknya dikarenakan krisis kehimpitan ekonomi yang melanda dan pemberian aspek kesejahteraan. Untuk itu, mau tidak mau pemerintah setidaknya harus berbenah diri karena yang menjadi ciri atau pilar suatu bangsa terletak pada kesejahteraan masyarakat bukan karena pembangunan fisik struktur semata.

Sistem jaminan sosial merupakan hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia terkadang cara penafsiran yang masih berbeda, terutama dalam hal ini antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Bahkan ditelusuri lebih jauh terkadang dalam hal ini pemegang kekuasaan dalam menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) hanya bersifat tendensius dan dijadikan sebagai alat politik semata.

Pemberian hak atas jaminan sosial terhadap masyarakat diakui sudah berjalan seperti adanya program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), tetapi optimalisasi keberadaannya yang masih belum merata terutama dikalangan masyarakat bawah (grassroot) dan belum lagi mekanisme untuk memperoleh suatu jaminan (akses) tersebut sangat ruwet dirasakan.

Menurut anggota DPR-RI Rieke Diah Pitaloka, mengatakan yang paling banyak terkena korban atas belumnya pemerataan jaminan sosial terutama dalam bidang jaminan kesehatan adalah pihak perempuan. Hal tersebut terjadi pada pihak perempuan ketika melakukan proses persalinan dan penyakit kanker payudara, menurutnya yang setiap tahun bertambah.

Melalui amanat konstitusi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) hanya merupakan sebatas asuransi sosial yakni melalui mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi tanpa pemberian suatu jaminan sosial yang seharusnya wajib dirasakan oleh rakyat Indonesia.

Terkadang bahwa pandangan masyarakat menyamakan antara asuransi sosial dan jaminan sosial padahal hakikatnya sangat berbeda. Jaminan sosial tersebut setidaknya harus bersifat jangka panjang dan mesti diprioritaskan agar terealisasi dengan baik seperti dengan adanya jaminan kesehatan, kecelakan, jaminan kematian, hidup layak, dll.

Hal tersebut secara langsung untuk dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dan bukan hanya sebatas asuransi melalui beban iuran pajak yang dikenakan kepada masyarakat.

Negara telah menanggung dan memberikan jaminan sosial salah satunya berupa jaminan kematian, tetapi ironisnya ketika seseorang telah meninggal para keluarga telah dibebankan melalui iuran pajak ketika dimakamkan ditempat tertentu dan tak ayal yang menjadi korban adalah para masyarakat atau keluarga yang kurang mampu.

Setidaknya berbagai kasus terjadi perlu mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam upaya realisasi pemberian hak atas jaminan sosial yang ada sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945. Selain itu, hal ini tentunya masih menjadi keprihatinan oleh masyarakat umum secara luas terutama bagi masyarakat yang kurang mampu.

Occupy Wall StreetPelajaran Bagi Indonesia

Dalam konteks kekinian, setidaknya pemerintah Indonesia telah mendapatkan pelajaran penting dan berharga atas krisis ekonomi yang telah melanda Amerika, karena belum memberikan kesejahteraan kepada kaum buruh dan masyarakat sekitar tentang pemberian atas jaminan sosial dan kesejahteraan. Gejolak itu muncul karena pembiaran sistem liberalisme ekonomi berjalan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap masyarakat.

Gerakan anti-Wall Street yang menyuarakan sebagai protes atas berbagai kebijakan pemerintah yang dipandang gagal dalam menyelamatkan krisis ekonomi amerika. Atas akibat tersebut beberapa anggota Occupy Wall Street (OWS) melakukan demonstrasi sebagai aksi protes atas gejolak krisis ekonomi tersebut.

Salah satu pemicu dalam krisis ekonomi di Amerika tersebut sebagai bentuk keserekahan dalam akumulasi kekayaan material dan korupsi para elit. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, para kaum buruh dan menamakan dirinya sebagai perempuan Indonesia dan berbagai LSM yang ada juga menuntut aksi atas hak jaminan sosial atas pemberian kesejahteraan.

Mereka merasa bahwa pihak pemerintah belum mampu memberikan hidup layak sebagaimana amanat konstitusi. Realitas yang terjadi sekarang ditemukan berbagai skandal kasus korupsi yang ada dipemerintahan. Hal tersebut salah satu pemicu masyarakat belum mendapatkan jaminan kesejahteraan diakibatkan keserakahan dalam bentuk kekuasaan yang ada.

Kasus korupsi yang terjadi sekarang bukan lagi menjadi penyakit yang akut, meminjam istilah medis kesehatan tetapi sudah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti jiwa dan pikiran. Untuk itu kiranya agar mendapatkan pertolongan dan segera untuk diamputasi.

Selain itu, tidak ada salahnya pihak pemerintah Indonesia melirik negara yang sukses dalam pemberian jaminan sosial dalam hal kesejahteraan yakni Jerman. Menteri Federal Urusan Ekonomi Jerman mengatakan bahwa kesejahteraan untuk semua dan keadilan sosial tanpa tindakan diskriminatif. Di Indonesia sendiri pemberian jaminan sosial masih bersifat diskriminatif hanya diperuntukkan yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

Terkhususnya juga di negara asia yang juga cukup sukses dalam memberikan kesejahteraan dan kemakmuran adalah di negara malaysia. Salah satunya sebagai indikator dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran adalah dengan cara menggunakan ukuran pendapatan kotor per kapita (GNP).

Untuk itu kita berharap dengan pengesahan UUD BPJS tersebut dapat mengoptimalkan dalam pemberian kesejahteraan bagi seluruh warga indonesia dan bukan semata-mata untuk kepentingan jangka pendek semata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar