Senin, 24 Oktober 2011

Pengayuh Becak Lahirkan Seorang Dokter





Rumah berdinding kayu berwarna oranye itu tidak berbeda dengan rumah di sebelahnya. Kayu sebagai penyangga rumahnya. Sebagian dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu. Lokasinya berada di pinggir Kali Code daerah Terban Yogyakarta. Saat Gunung Merapi meletus warga di sekitarnya bersiap-siap mengungsi menghindari luapan lahar dingin.

Saat saya mengetuk pintu rumah itu, nampak pria tua menyambut dengan ramah. Memasuki rumahnya, saya harus agak membungkuk karena pintu rumahnya yang cukup pendek.

Rumah itu berlantai semen, sebelah ruang tamu terdapat kamar tidur serta televisi berwarna 14 inc yang sudah tua. Hanya beberapa lampu yang terpasang di rumahnya. Dari rumah yang sederhana ini lahirlah seorang dokter lulusan UGM bernama Agung Bhaktiyar dengan IPK 3,51.

Pria tua yang menyambut saya bernama Pak Suyatno (63), sehari-hari bekerja mengayuh becak dan mencari penumpang di sekitar Hotel Santika Yogyakarta.


Pak Suyatno sebelumnya tidak pernah berpikir anaknya bisa menjadi dokter, terlebih lagi ia sendiri hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR) dan hanya penarik becak. “Sekolah kedokteran khan mahal mas,” ungkapnya.

Saat menceritakan perjalanan anaknya, Pak Suyatno, matanya berkaca-kaca dan sedikit meneteskan air mata. Agung begitu panggilan anaknya itu, sejak kecil sudah berprestasi di sekolahnya.
Umur 7 tahun, Agung bersekolah SD N di Gedongtengen. Ia selalu mendapat prestasi di sekolahnya mulai kelas 1 sampai kelas 6.

Berbeda dengan anak usianya yang diantar orang tuanya menggunakan mobil, motor ataupun naik sepeda, Agung ke sekolah dengan jalan kaki. Kebetulan tempat sekolahnya tidak jauh dari rumahnya.

Dengan prestasi di SD itu, Agung dengan mudah masuk di SMPN 5 Yogyakarta. Di sekolah ini, prestasi Agung tidak begitu menonjol karena kebanyakan anak-anak pandai bersekolah di tempat ini.

Setelah SMP, Ia berhasil melanjutkan di SMA 6 Yogkarta. Dari sinilah, prestasinya mulai nampak kembali. Selama di sekolah ini, Agung selalu menduduki rangking 10 besar.

Agung mempunyai tekad besar untuk melanjutkan perguruan tinggi negeri. Pada 2005, Ia mencoba mendaftar di Fakultas Kedokteran UGM dan diterima. Sebagai mahasiswa kedokteran, diperlukan biaya yang cukup tinggi. Di awal-awal semester, ia sempat membantu ibunya mengumpulkan barang-barang bekas. Karena kesibukan kuliah, ibunya menyarankan untuk berhenti dari pekerjaannya itu.

Transportasi yang digunakan Agung untuk kuliah menggunakan sepeda jengki warna biru yang sudah cukup tua. Ia melakoninya sampai lulus kuliah.

Saya pun diajak Pak Suyatno menemui istrinya di tempat bekerjanya yang mengumpulkan barang bekas di Pasar Terban.

Perjalanan dari rumah ke lokasinya tidak terlalu jauh, jalan kaki sekitar 10 menit. Pak Suyatno memperkenalkan saya ke istrinya.

“Saya Saniyem mas, ibunya Agung.”

Warna jilbab yang digunakan Bu Saniyem (59) sudah berubah warna, tetapi tidak mengubah pendiriannya dalam mensukseskan anaknya ke jenjang perguruan tinggi menjadi seorang dokter.
Kumpulan barang bekas yang menjadi tempat mencari hidup, tidak akan menistakan Bu Saniyem dalam mencari rezeqi

Bu Saniyem memberikan perhatian khusus pada anaknya, terlebih lagi dengan kondisi ekonomi keluarganya. “Bapak penarik becak, saya pengumpul barang bekas, anak saya sekolah kedokteran, harus prehatin mas,” ungkap Bu Saniyem.

Agung sendiri menyadari kondisi keluarganya, ia boleh dikatakan tidak pernah makan di kantin kampus, selalu makan di rumah. Bu Saniyem kadang-kadang memberi uang jajan Rp5000. “Kadang-kadang saya beri Rp5000 buat Agung,” paparnya.

Berdasarkan penuturan Bu Saniyem, Agung selalu menginformasikan satu bulan sebelumnya, jika minta biaya uang semesteran. “Saya selalu nabung Rp20.000 perhari untuk bayaran semesteran Agung. Per-semester ada Rp1,8 juta dan ada Rp 2,1 juta,” jelas Bu Saniyem.

Sehari-hari, Agung banyak belajar setelah pulang sekolah. Dan itu dilakukan sampai menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran UGM. “Mungkin penerangan rumah yang kurang terang, Agung belajarnya, siang hari, malamnya banyak istirahat,” cerita Pak Suyatno.

Selain itu, yang tidak pernah dilupakan Agung, setiap sepertiga malam, selalu Shalat Tahajud.
Kedua orang tua Agung juga selalu mendoakan kelancaran anaknya dalam menempuh karir dan anaknya. “Saya hanya bisa berdoa dan berusaha mengumpulkan uang secukupnya untuk Agung,” ujar Bu Saniyem.

Sampai sekarang Pak Suyatno tidak bisa berpikir anaknya bisa menjadi dokter, dan terlebih lagi dirinya pernah diundang ke kampus UGM untuk memberikan ceramah di hadapan orang tua mahasiswa baru.

Saat memberikan ceramah itu, Pak Suyatno sempat grogi karena di hadapan sekitar 7000 wali mahasiswa baru. Ia pergi ke kampus pun dengan becak kesayangannya, bahkan di tengah jalan sempat diwawancarai televisi swasta. “Sebetulnya, pihak kampus mau menjemput dengan mobil, tetapi saya tunggu ngak datang-datang, saya berangkat sendiri dengan becak,” ungkapnya.

Saat ini, Agung telah mempraktikkan ilmunya di RSUD Kulon Progo. Sehari-hari, ia menggunakan sepeda motor tua untuk melayani kesehatan masyarakat di tempat bekerjanya itu.

Agung mulai berangkat kerja dari rumahnya sekitar sekitar jam 07.00 WIB dan sampai rumah sekitar jam 04.00 WIB.

http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/02/pengayuh-becak-lahirkan-seorang-dokter/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar