Minggu, 25 September 2011

Kesejahteraan Petani Tak Kunjung Membaik

Oleh : Kadir Ruslan

Mungkin sedikit di antara kita yang tahu kalau Sabtu (24/9) bertepatan dengan Hari Tani. Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan Hari Tani selalu diwarnai unjuk rasa dari ribuan petani. Dan hari sabtu lalu yang terjadi pun demikian, ribuan petani kembali melakukan unjuk rasa di depan Istana Negara yang dilanjutkan long march ke Bundaran Hotel Indonesia. Mengapa peringatan Hari Tani selalu diwarnai dengan unjuk rasa? 

Jawabannya adalah sederhana, hingga kini sebagian besar petani kita tetap miskin dan jauh dari sejahtera.

Selama satu dekade terakhir, tingkat kesejahteraan petani tak kunjung membaik. Petani kita yang sebagian besar adalah petani kecil dan buruh tani tetap miskin. Sektor pertanian−perdesaan tetap saja menjadi kantong kemiskinan. Sekitar 63,2 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di perdesaan dan mudah untuk diduga kalau sebagain besar mereka adalah petani kecil dan buruh tani. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2011, hampir 60 persen penduduk miskin bekerja di sektor pertanian.


Indikator lain yang menunjukkan tak kunjung membaiknya tingkat kesejahteraan petani secara signifikan adalah pergerakan nilai tukar petani (NTP) yang cenderung stagnan dan nilai upah riil buruh tani yang terus menurun selama beberapa tahun terakhir.

Secara kasar, perkembangan nilai NTP merupakan proksi perkembangan tingkat kesejahteraan petani. NTP merupakan rasio antara indeks diterima petani yang merepsentasikan pendapatan petani dan indeks dibayar petani yang merepresentasikan pengeluaran petani. Pada peraga di atas terlihat jelas, sepanjang periode Juni 2008-Agustus 2011, pergerakan nilai NTP cenderung stagnan. Hal ini menunjukkan selama periode ini perkembangan tingkat kesejahteraan petani cenderung stagnan.

Begitu pula dengan perkembangan rata-rata upah harian yang diterima oleh buruh tani. Meskipun upah mominal buruh tani terus menunjukkan tren kenaikan selama periode Januari 2008-Agustus 2011, kenyataannya upah riil−daya beli−buruh tani tidak mengalami perubahan berarti, bahkan cenderung mengalami penurunan. Pada Agustus 2011 saja, upah riil buruh tani telah mengalami penurunan sebesar 0.55 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yakni dari Rp 28.975 pada bulan Juli menjadi Rp 28.816 pada bulan Agustus 2011.

Reforma Agraria
Salah satu yang menjadi tuntutan para petani dalam unjuk rasa ketika memperingati Hari Tani adalah agar pemerintah memperbaiki distribusi kepemilikin lahan melalui reforma agraria atau pembaharuan agraria. Hal ini beralasan karena selama ini distribusi kepemilikan lahan sangat timpang, khususnya di Pulau Jawa.

Saat ini, sebagian besar lahan hanya dikuasai oleh segelintir orang. Dan di sisi lain jumlah petani gurem, yakni petani dengan penguasaan lahan kurang dari 0.5 hektar, terus meningkat. Mereka adalah petani kecil yang sudah dipastikan miskin. Dan dengan penguasaan lahan yang sempit sulit rasanya bagi mereka unutk keluar dari perangkap kemiskinan.

Beberapa waktu yang lalu, pemerintah pernah berjanji akan melaksanakan Program Pembaharuan Agraria Nasional dengan mendistribusikan lahan kepada para petani. Namun, kenyataannya program tersebut tak kunjung dilaksanakan. Bahkan yang ada adalah sebaliknya, pemerintah justeru menerapkan kebijakan Food Estate yang malah memberikan ruang dan otoritas kepada perusahaan besar untuk menguasai lahan pertanian dan produksi. Hal ini tentu jelas-jelas menujukkan sikap pemerintah yang tidak pro terhadap petani miskin.

Pemerintah seharusnya sadar bahwa sebagain besar angkatan kerja kita bekerja di sektor pertanian (42,47 persen) dan sebagian besar penduduk miskin juga bekerja di sektor pertanian (57,78 persen). Karenanya, jika petani kita sejahtera, maka sebagian persolan bangsa ini telah terselesaikan.
*****

Sumber tulisan metronews, data-data dari BPS http://www.bps.go.id/

http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/09/26/kesejahteraan-petani-tak-kunjung-membaik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar