Oleh : Cahyadi Takariawan
Tadi malam (Minggu, 25 September 2011) kelompok ronda saya kebagian jatah jaga malam. Di kampung kami, Mertosanan Kulon, desa Potorono, kecamatan Banguntapan, kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, ronda dilakukan di rumah-rumah penduduk. Bergantian, sehingga semua rumah warga kebagian jatah ketempatan ronda. Saya menjadi tuan rumah ronda tadi malam.
Satu kelompok ronda rata-rata terdiri dari 12 warga, yang mendapat jatah jaga keamanan kampung sepekan sekali. Kelompok saya mendapat jatah Minggu malam, atau kalau dalam tradisi kampung kami menyebutnya dengan “malam Senin”. Lebih khas lagi, di kampung saya tidak menggunakan istilah ronda, namun “implengan”. Kami menyebut, tadi malam itu adalah jatah implengan malam Senin.
Terus terang saya sendiri tidak tahu maksud kata “implengan”. Tadi malam, sempat saya tanyakan kepada beberapa warga senior yang menjadi anggota implengan malam Senin. Yang saya heran, ternyata mereka juga tidak bisa memberikan penjelasan mengenai makna kata implengan.
“Begitulah kita menyebut ronda selama ini. Sudah dari dulu zaman bapak dan kakek kita, menggunakan istilah implengan. Maksudnya ya ronda ini”, kata pak Syaifudin, sesepuh kampung yang menjadi anggota implengan malam Senin.
“Kami juga tidak pernah bertanya kepada orang-orang tua zaman dulu tentang maksud kata implengan. Tapi kita langsung saja menggunakan istilahnya setiap hari”, imbuh pak Narno yang juga sudah cukup berumur.
Terlepas dari apapun makna kata implengan, namun semua warga kampung menikmati “ritual” yang satu ini. Sepekan sekali, bergantian dari satu rumah ke rumah lainnya, kami menjaga keamanan kampung. Benarkah menjaga keamanan kampung ?
“Kalau zaman dulu, implengan itu dilakukan dengan berkeliling kampung dan membunyikan alat bernama kentongan”, kata pak Narno. Jatampak benar bahwa ronda itu menjaga keamanan kampung, karena berkeliling dan membawa alat-alat keamanan, salah satunya kentongan.
Namun sekarang implengan itu berkumpul saja di rumah seorang warga yang mendapat giliran sebagai tuan rumah. Kami berkumpul, mengobrol dari satu tema ke tema lainnya, menikmati aneka hidangan, bergurau, menyampaikan kabar warga, dan mengumpulkan dana sosial. Tampak sekali implengan memiliki fungsi sosial yang sangat kuat. Lebih kuat makna sosial, dibandingkan dengan makna “menjaga keamanan” itu sendiri.
Di kampung kami, kondisi semua warga menjadi “sangat terpantau”, karena saling peduli satu dengan lainnya, dan semuanya bisa terdeteksi lewat kegiatan implengan. Tadi malam, ada beberapa warga anggota implengan malam Senin yang tidak hadir. Ketidakhadiran mereka diketahui kondisi dan alasan masing-masing. Bahkan ada warga yang sudah tiga pekan berturutan tidak hadir dalam kegiatan implengan malam Senin, mudah dipantau oleh seluruh anggota lainnya.
Dalam kegiatan implengan tidak ada sistem presensi tertulis. Namun karena jumlah anggotanya tertentu dan bertemu sepekan sekali, maka siapapun yang tidak hadir akan selalu diketahui oleh yang lainnya. Dengan cara seperti ini, semua warga menjadi mengerti kondisi warga lainnya, karena selalu ada berita sosial kemasyarakatan yang dititipkan pengurus kampung ntuk disampaikan kepada semua anggota implengan. Sehinga semua warga yang berada dalam sebuah kelompok implengan mengerti pula berita warga lainnya yang berada di kelompok implengan lainnya.
Seperti yang terjadi tadi malam, pengurus kampung menitipkan berita sosial kemasyarakatan, bahwa ada tiga warga kampung yang dirawat di rumah sakit. Dua orang karena melahirkan anak, dan satu warga lagi karena sakit. Untuk kondisi adanya warga yang sakit seperti ini, semua warga kampung menjadi tahu dan memberikan bantuan sukarela untuk menolong meringankan beban keluarga yang tengah mendapat musibah.
Luar biasa orang-orang kampung. Kepedulian sosial dan kepekaan sosial mereka selalu terasah, apalagi karena dilembagakan oleh pengurus kampung. Ada bagian sosial yang berkewajiban memantau kondisi warga masyarakat, dan menyampaikan berita kepada warga lainnya melalui forum implengan. Untuk berita kematian, langsung diumumkan melalui pengeras suara masjid, sehingga semua warga mendengar secara langsung berita tersebut.
Dalam forum implengan, selain “berita resmi” yang berasal dari pengurus kampung, beredar pula “berita tidak resmi” alias isu dan gosip yang diobrolkan sembari bergurau mengusir sepi. Namanya juga berita tidak resmi, kadang tidak bisa dijamin akurasi kebenarannya. Biasanya yang banyak diceritakan mengenai perilaku atau kejadian yang “aneh-aneh” dan tidak lazim.
Di kampung kami, kegiatan implengan tidak boleh disertai dengan kartu judi atau minuman keras. Biasanya tuan rumah menyediakan televisi untuk ditonton bersama, apalagi jika ada tayangan tertentu yang menarik, seperti pertandingan sepakbola. Implengan telah menjadi sarana temu warga secara rutin, saling silaturahmi, mengetahui kondisi rumah masing-masing anggota, dan menjaga kekompakan serta keakraban antar warga.
Sangat banyak kemanfaatan yang didapatkan dari model kegiatan implengan seperti ini, walaupun bentuknya bukan forum resmi yang terpimpin. Bukan forum ilmiah yang diskusinya memiliki tema serta alur. Namun forum bebas, boleh memulai berbicara, tanpa menentukan tema dan batasan waktu. Dari satu tema tiba-tiba berpindah ke tema lainnya. Begitulah semua warga kampung menikmatinya.
Dengan cara seperti ini, kami menjadi tahu ada warga yang sakit, ada warga yang melahahirkan anak, ada warga yang hendak memiliki hajat menikahkan anak, khitanan, syukuran dan lain sebagainya. Bahkan kami juga mengetahui ada warga yang kesulitan menyekolahkan anaknya ke tingkat lanjut karena faktor biaya. Segera kami berusaha untuk ikut mencarikan peluang beasiswa kepada berbagai pihak yang mampu kami akses.
Saya sangat yakin, dengan cara seperti ini, ketahanan sosial masyarakat akan menjadi sangat kuat. Apabila ketahanan sosial di setiap komunitas masyarakat bisa terbangun dengan kokoh, maka ketahanan nasional pun akan mudah tercipta.Implengan tanpa disadari telah menciptakan harmoni, telah menciptakan sinergi, dan akhirnya ketahanan sosial semakin terasa kokoh sekali.
Sayang sekali tradisi ronda atau implengan ini di berbagai kompleks perumahan telah bergeser menjadi portal, pagar tinggi dan satpam. Tinggal membayar iuran bulanan, semua sudah terselesaikan. Tidak perlu implengan, tidak perlu ronda, tidak perlu berkumpul rutin di rumah warga, karena dianggap itu tidak sesuai lagi dengan ciri masyarakat modern yang serba ingin praktis dan tidak mau repot-repot.
Padahal, sangat banyak nilai-nilai sosial budaya yang terjaga dan terhidupkan dari kegiatan implengan. Modalitas sosial yang selalu terbina karena adanya kesadaran sosial yang sudah mendarah daging dalam kehidupan warga masyarakat kampung. Bersyukur saya bisa menjadi orang kampung, lahir di kampung dan kini menetap di kampung. Betapa damai hati kami, jauh dari polusi dan hiruk pikuk kegelisahan masyarakat perkotaan yang saling tidak mengenal satu dlainnya, padahal tinggal dalam satu komplek perumahan elit.
Bandara Adi Sucipto, 26 September 2011
(Sembari menunggu saat boarding, di ruang tunggu bandara Adi Sucipto, Yogyakarta)
http://sosbud.kompasiana.com/2011/09/26/menguatkan-ketahanan-sosial-bangsa-dengan-tradisi-implengan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar