Rabu, 21 September 2011

Kita yang Membuat Jumlah Pengemis Berkembang Biak


“Jalan raya bukan tempat transaksi jual-beli, bukan tempat mencari nafkah. Kalau itu dilakukan, itu membahayakan keselamatan dirinya sendiri dan keselamatan orang lain,” kata seorang petugas negara yang berpuluh tahun mengurusi anak jalanan, pengemis, gelandangan, waria, psk jalanan, orang gila, pedagang asongan, joki, siapapun yang berkeliaran di jalan dengan tujuan mencari uang.

“Kalau kita semua kompak tidak membeli dan memberi di jalan, mereka akan malas turun ke jalan. Kalau kita rajin membeli dan memberi di jalan, mereka akan bersemangat turun ke jalan, semakin banyak jumlahnya, berkembang biak, beranak-pinak. Sama saja kita memelihara mereka di jalan, membuat mereka betah berlama-lama di jalan,” kata petugas negara itu lagi, mengingatkan.

“Memang yang kita berikan itu sedikit, lima ratus rupiah, seribu dua ribu rupiah saja, tapi kalau banyak yang memberi, bagi mereka itu akan menjadi banyak dan membuat mereka nyaman tinggal di jalan,” kata petugas negara itu lagi.


“Ada panti asuhan khusus anak, panti asuhan khusus remaja, panti asuhan khusus usia jompo, panti asuhan khusus penyandang cacat, panti asuhan khusus pengemis, panti asuhan khusus waria, panti asuhan khusus pekerja seks jalanan, panti asuhan khusus gelandangan, ada masjid yang nyata sedang dibangun, ada lembaga zakat dan sebagainya. Ke sanalah sebaiknya kita menyalurkan bantuan. Ajak anak-anak kita ke sana untuk mengasah empatinya pada sesama,” kata petugas negara itu lagi.

“Mafia pengemis itu benar adanya. Mereka (orang jahat) sengaja mengumpulkan gadis-gadis lugu dari desa, dijilbabi, disuruh bawa map sumbangan yayasan fiktif, disuruh meminta-minta di jalan, meminta-minta dari rumah ke rumah,” kata petugas negara itu lagi, memberikan contoh.

“Kehidupan di jalan sungguh mengerikan. Tidak ada aturan. Tidak mandi tidak apa-apa. Anak-anak perempuan dijejali obat terlarang, dibuat tidak sadar lalu diperkosa,” kata petugas negara itu, lagi.

“Di jalan tidak ada aturan. Banyak yang merasa nyaman dengan situasi itu, yang penting buatnya bisa makan hari ini, tak tahu masa depan itu apa. Tak mudah mengubah pola pikir mereka. Mereka semua yang kami tangkap, kami bina, kami persuasi, kami motivasi, kamu salurkan ke panti asuhan sesuai karakteristiknya, tidak semuanya mau, ada yang minta pulang, kami tidak bisa memaksanya. Kalau kami memaksanya, kami nanti dituduh melanggar hak asasi manusia,” kata petugas negara itu, lagi.

Petugas negara itu bercerita, dia menangis tiap kali memikirkan, mengapa di negara ini ada golongan super kaya dan ada golongan super miskin. Bagaimana supaya dua titik ekstrim itu tidak terlalu mencolok. Bagaimana supaya kesenjangan itu tidak terlalu menganga lebar. 
Bagaimana supaya semuanya saling berdekatan, seimbang, tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin, kayanya sedang-sedang saja, miskinnya sedang-sedang saja.

Ada apa dengan negara ini. Apa yang salah dengan negara ini.

Bagaimana supaya pemimpinnya mau mengatur.

Bagaimana supaya rakyatnya mau diatur.

Anak-anak tak boleh berkeliaran di jalan. Anak-anak harus sekolah. Orang tua tak boleh berkeliaran di jalan. Orang tua harus diberdayakan atau dibuat menemukan keberdayaannya. Itu semua dilakukan untuk memutuskan rantai generasi bermental minta-minta.

Kepada stafnya, petugas negara itu mengingatkan, “Bila kalian mau kunci surga, perhatikan mereka, perhatikan gizi makanannya, layani mereka sebaik-baiknya. Bila kalian mau kunci neraka, telantarkan mereka.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar